dakwatuna.com - “Antara nyata dan tidak, antara mau dan tidak mau tapi itu semua adalah sebuah titik bahwa kita harus sadar bahwa kita adalah sebaik-baiknya umat ketika kita mampu menampakan sisi keislaman yang sebenarnya tanpa ada dikotomi antara tauhid dan aspek dunia.”
Telukjambe, September’08 Esok adalah sebuah kumpulan cerita yang abstrak dan tak bisa diprediksi, namun seorang manusia yang wajar adalah seseorang selalu mempersiapkan segalanya atau selengkapnya dengan baik untuk songsong masa depan. Allah Swt. Berfirman dalam Al Qur’an Surat Al Hasyr ayat 18 :
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Muslim yang baik adalah muslim yang sudah tahu betul apa yang akan dilakukan pada hari ini, dan ia sadar bahwa apa yang ia lakukan hari ini akan memberikan dampak yang signifikan pada masa mendatang. Tak ada nilai-nilai keraguan ataupun nilai yang cenderung kepada sikap pesimistis, karena semua tahu bahwa esok adalah abstrak dan harus dipersiapkan dengan matang.
Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia, yang merupakan asset yang berharga dan merupakan tolak ukur dari masyarakat muslim dunia. Karena itulah wajah dunia muslim Indonesia selalu menjadi sorotan yang paling tajam, sehingga ia merupakan sebuah informasi penting dalam segala kepentingannya. Muslim Indonesia dengan ciri yang lebih moderat bahkan mampu memposisikan diri sebagai negara muslim yang mampu menerapkan kesejukan, merupakan wajah lain dari dunia Islam yang cenderung kekinian dianggap sebagai agama radikal,agama teroris.
Oleh karena itu menurut hemat saya, posisi tawar itu merupakan hal yang berharga yang harus terus diperankan oleh Indonesia. Dan juga dengan posisi yang demikian, seharusnya peran kita pun sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar harus lebih signifkan dalam kancah dunia internasional. Sebagai negara mayoritas muslim, sudah seharusnya juga mempersiapkan diri untuk menjadi negara yang mampu berkompetisi dengan masyarakat internasional. Kita seharusnya tidak perlu takut lagi dengan era pasar bebas jika sudah mempersiapkan dengan matang tentang kader-kader penerus.
Namun sayang, kita ini terlalu sering terjebak dalam pemikiran pragmatis sehingga cita-cita kita yang termaktub dalam preambule UUD’45 yakni mewujukan masyarakat adil makmur hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Jika kita menilik dan mentadaburi QS Al Hasyr ayat 18 tadi, sungguh akan menjadi sangat menarik dan akan mampu menggenjot mental bangsa menjadi bangsa yang selalu memiliki perencanaan yang mantap dalam melangkah.
Namun permasalahnnya tidak sesederhana itu, karena kita sebagai bangsa yang mayoritas muslim sudah kehilangan akarnya dan kehilangan pegangan utamanya. Nilai moral sebagai seorang muslim salah satunya saja nilai silaturahim hanya terlihat setahun sekali dalam tradisi mudik, lalu nilai lain tentang Islam contoh kejujuran sudah tergerus oleh pemikiran “perut adalah segalanya” sehingga kita pun menjadi negara mayoritas muslim namun sebagai negara peringkat ketiga dalam korupsi.
Al Qur’an yang seharusnya menjadi pedoman dan tuntunan dalam melangkah kini hanya menjadi hiasan di sudu-sudut ruangan dihiasi dengan bingkai dan terlihat rapi karena memang belum pernah dibuka, atau mungkin ada dari kalangan yang terlihat hafal ayat Al Qur’an namun sayang hanya sekedar hafal dan hanya sampai di bibir saja belum sampai ke hati dan perwujudan dalam kehidupan. Kita hanya menjadi bangsa yang hanya sekedar namanya saja mayoritas Islam, namun kepribadian- kepribadiannya jauh dari konsep pribadi muslim sejati.
Ini yang menjadi polemik, ini yang menjadi rancu atau dengan bahasa yang lain “masa orang Islam takut dengan Islam”. Ada apa dengan ajaran Islam, dan ada apa dengan ketakutan yang menghampiri orang-orang muslim kini tentang ajaran agamanya? Contoh dalam hal ini orang “Islam” malas dengan mengeluarkan zakat, padahal dengan pengelolaan zakat itu orang miskin itu menjadi tidak ada (contoh dalam hal ini baitul mal yang dikelola Umar ibn Abdul Aziz) lalu kenapa harus takut jika itu memberi peluang hidup yang lebih baik kepada saudara kita yang miskin. Dan dalam hal ini tidak pernah ada cerita orang kaya jatuh miskin hanya gara-gara zakat, malah kekayaan kita akan bertambah banyak dan yang jelas semakin barakah.
Islam di Indonesia seharusnya menjadi ruh dalam perubahan tataran moral pribadi-pribadinya, dari yang tak jelas menjadi semakin jelas, dari yang rapuh menjadi tatanan yang kuat. Islam seharusnya menjadi kekuatan perekat persatuan bangsa ini, dan bukan menjadi sebuah kata-kata yang tabu dalam ranah kenegaraan karena Islam itu menganut sistem rahmatan lil ‘alamin. Islam Indonesia seharusnya menjadi pioner dalam tumbuh kembangnya pribadi muslim yang mewujudkan aspek tauhid dalam ilmu pengetahuan teknologi, kebudayaan serta kehidupan sosial kemasyarakatan tanpa menjadi masyarakat yang antipati terhadap lingkungan sekitar (eksklusif).
Konsep syumuliyatul Islam (kesempurnaan Islam) harus mampu diserap atau bahkan ditransfer ke dalam jiwa setiap muslim, agar ia menjadi sadar bahwa Islam itu bukan hanya mengurusi atau mengatur ibadah sholat, zakat, puasa, haji namun juga keselurahan kehidupan pribadi muslim diatur bahkan sampai ke ranah kenegaraan. Oleh karena itu, mulai saat ini kita harus segera sadar bahwa kita itu adalah negara dengan mayoritas muslim terbesar dan punya peran cukup signifikan dalam kancah internasional mulai mempersiapkan generasi penerus yang akan datang menjadi generasi yang bukan generasi mental lemah, bukan generasi bodoh, dan bukan generasi yang hanya bisa menjadi follower murni.
Kita harus menyediakan fasilitas-fasilitas untuk menunjang pembentukan pribadi-pribadi bermental pemenang, kita harus memberikan kucuran-kucuran dana yang cukup dan memadai kebutuhan kepada mereka yang berani berjuang mewujudkan cita-cita bangsa ini. Islam itu harus menjadi titik tolak berfikir, bergerak, berjuang seorang muslim, dan bukannya menjadi sebuah kejumudan.
Esok hari merupakan harapan bagi orang-orang yang optimis, dan Islam selalu mengajarkan sikap optimis dalam menjalani hidup. Sudah saatnya kita teriak “bebas merdeka” dari cengkraman nafsu syaitani yang selalu menyusun dan mendayung kita untuk menjauh dari Allah swt. dan Sunnah Rasulullah saw. Sudah saatnya pula Islam Indonesia hari ini berjalan beriringan bersama Islam di seluruh dunia untuk sama-sama berfungsi sebagai pemimpin dunia yang mampu melayani umat dunia ini dalam kerangaka keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama dan saya rasa Islam sudah selesai dalam kerangka keberagaman itu dengan QS Al Hujarat Ayat 13 dan QS Al Kafiruun ayat 6 dan Islam bukanlah agama yang ketika mengahadapi masalah harus selalu diselesaikan dengan peperangan (pedang terhunus).
Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita saat ini punya peran dalam menjawab pertanyaan Islam Indonesia esok hari akan seperti apa? Allahu a’lam
Telukjambe, September’08 Esok adalah sebuah kumpulan cerita yang abstrak dan tak bisa diprediksi, namun seorang manusia yang wajar adalah seseorang selalu mempersiapkan segalanya atau selengkapnya dengan baik untuk songsong masa depan. Allah Swt. Berfirman dalam Al Qur’an Surat Al Hasyr ayat 18 :
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Muslim yang baik adalah muslim yang sudah tahu betul apa yang akan dilakukan pada hari ini, dan ia sadar bahwa apa yang ia lakukan hari ini akan memberikan dampak yang signifikan pada masa mendatang. Tak ada nilai-nilai keraguan ataupun nilai yang cenderung kepada sikap pesimistis, karena semua tahu bahwa esok adalah abstrak dan harus dipersiapkan dengan matang.
Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia, yang merupakan asset yang berharga dan merupakan tolak ukur dari masyarakat muslim dunia. Karena itulah wajah dunia muslim Indonesia selalu menjadi sorotan yang paling tajam, sehingga ia merupakan sebuah informasi penting dalam segala kepentingannya. Muslim Indonesia dengan ciri yang lebih moderat bahkan mampu memposisikan diri sebagai negara muslim yang mampu menerapkan kesejukan, merupakan wajah lain dari dunia Islam yang cenderung kekinian dianggap sebagai agama radikal,agama teroris.
Oleh karena itu menurut hemat saya, posisi tawar itu merupakan hal yang berharga yang harus terus diperankan oleh Indonesia. Dan juga dengan posisi yang demikian, seharusnya peran kita pun sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar harus lebih signifkan dalam kancah dunia internasional. Sebagai negara mayoritas muslim, sudah seharusnya juga mempersiapkan diri untuk menjadi negara yang mampu berkompetisi dengan masyarakat internasional. Kita seharusnya tidak perlu takut lagi dengan era pasar bebas jika sudah mempersiapkan dengan matang tentang kader-kader penerus.
Namun sayang, kita ini terlalu sering terjebak dalam pemikiran pragmatis sehingga cita-cita kita yang termaktub dalam preambule UUD’45 yakni mewujukan masyarakat adil makmur hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Jika kita menilik dan mentadaburi QS Al Hasyr ayat 18 tadi, sungguh akan menjadi sangat menarik dan akan mampu menggenjot mental bangsa menjadi bangsa yang selalu memiliki perencanaan yang mantap dalam melangkah.
Namun permasalahnnya tidak sesederhana itu, karena kita sebagai bangsa yang mayoritas muslim sudah kehilangan akarnya dan kehilangan pegangan utamanya. Nilai moral sebagai seorang muslim salah satunya saja nilai silaturahim hanya terlihat setahun sekali dalam tradisi mudik, lalu nilai lain tentang Islam contoh kejujuran sudah tergerus oleh pemikiran “perut adalah segalanya” sehingga kita pun menjadi negara mayoritas muslim namun sebagai negara peringkat ketiga dalam korupsi.
Al Qur’an yang seharusnya menjadi pedoman dan tuntunan dalam melangkah kini hanya menjadi hiasan di sudu-sudut ruangan dihiasi dengan bingkai dan terlihat rapi karena memang belum pernah dibuka, atau mungkin ada dari kalangan yang terlihat hafal ayat Al Qur’an namun sayang hanya sekedar hafal dan hanya sampai di bibir saja belum sampai ke hati dan perwujudan dalam kehidupan. Kita hanya menjadi bangsa yang hanya sekedar namanya saja mayoritas Islam, namun kepribadian- kepribadiannya jauh dari konsep pribadi muslim sejati.
Ini yang menjadi polemik, ini yang menjadi rancu atau dengan bahasa yang lain “masa orang Islam takut dengan Islam”. Ada apa dengan ajaran Islam, dan ada apa dengan ketakutan yang menghampiri orang-orang muslim kini tentang ajaran agamanya? Contoh dalam hal ini orang “Islam” malas dengan mengeluarkan zakat, padahal dengan pengelolaan zakat itu orang miskin itu menjadi tidak ada (contoh dalam hal ini baitul mal yang dikelola Umar ibn Abdul Aziz) lalu kenapa harus takut jika itu memberi peluang hidup yang lebih baik kepada saudara kita yang miskin. Dan dalam hal ini tidak pernah ada cerita orang kaya jatuh miskin hanya gara-gara zakat, malah kekayaan kita akan bertambah banyak dan yang jelas semakin barakah.
Islam di Indonesia seharusnya menjadi ruh dalam perubahan tataran moral pribadi-pribadinya, dari yang tak jelas menjadi semakin jelas, dari yang rapuh menjadi tatanan yang kuat. Islam seharusnya menjadi kekuatan perekat persatuan bangsa ini, dan bukan menjadi sebuah kata-kata yang tabu dalam ranah kenegaraan karena Islam itu menganut sistem rahmatan lil ‘alamin. Islam Indonesia seharusnya menjadi pioner dalam tumbuh kembangnya pribadi muslim yang mewujudkan aspek tauhid dalam ilmu pengetahuan teknologi, kebudayaan serta kehidupan sosial kemasyarakatan tanpa menjadi masyarakat yang antipati terhadap lingkungan sekitar (eksklusif).
Konsep syumuliyatul Islam (kesempurnaan Islam) harus mampu diserap atau bahkan ditransfer ke dalam jiwa setiap muslim, agar ia menjadi sadar bahwa Islam itu bukan hanya mengurusi atau mengatur ibadah sholat, zakat, puasa, haji namun juga keselurahan kehidupan pribadi muslim diatur bahkan sampai ke ranah kenegaraan. Oleh karena itu, mulai saat ini kita harus segera sadar bahwa kita itu adalah negara dengan mayoritas muslim terbesar dan punya peran cukup signifikan dalam kancah internasional mulai mempersiapkan generasi penerus yang akan datang menjadi generasi yang bukan generasi mental lemah, bukan generasi bodoh, dan bukan generasi yang hanya bisa menjadi follower murni.
Kita harus menyediakan fasilitas-fasilitas untuk menunjang pembentukan pribadi-pribadi bermental pemenang, kita harus memberikan kucuran-kucuran dana yang cukup dan memadai kebutuhan kepada mereka yang berani berjuang mewujudkan cita-cita bangsa ini. Islam itu harus menjadi titik tolak berfikir, bergerak, berjuang seorang muslim, dan bukannya menjadi sebuah kejumudan.
Esok hari merupakan harapan bagi orang-orang yang optimis, dan Islam selalu mengajarkan sikap optimis dalam menjalani hidup. Sudah saatnya kita teriak “bebas merdeka” dari cengkraman nafsu syaitani yang selalu menyusun dan mendayung kita untuk menjauh dari Allah swt. dan Sunnah Rasulullah saw. Sudah saatnya pula Islam Indonesia hari ini berjalan beriringan bersama Islam di seluruh dunia untuk sama-sama berfungsi sebagai pemimpin dunia yang mampu melayani umat dunia ini dalam kerangaka keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama dan saya rasa Islam sudah selesai dalam kerangka keberagaman itu dengan QS Al Hujarat Ayat 13 dan QS Al Kafiruun ayat 6 dan Islam bukanlah agama yang ketika mengahadapi masalah harus selalu diselesaikan dengan peperangan (pedang terhunus).
Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita saat ini punya peran dalam menjawab pertanyaan Islam Indonesia esok hari akan seperti apa? Allahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar