Featured Post 4

News Update :
Artikel Terbaru

Sikap Resmi Ikhwanul Muslimin dalam Masalah Politik

Senin, 28 September 2009

Sumber : Al Ikhwan

(Diterjemahkan dari kitab Ar-Ru’yah Asy-Syamilah lil Ikhwanil Muslimin, bab Al-Ikhwan dan Politik)

Ikhwah wa akhwat fiLLAAH, supaya tidak ada lagi para fatirin dan munsalikhin yang menganggap Berpolitik dan menjadi Politisi dengan partai dan parlemen adalah penyimpangan dari manhaj Ikhwan, dan supaya tidak ada lagi yang menyatakan bahwa para politisi kita saat ini sudah menyimpang dari manhaj Ikhwan dan dari perjuangan Imam Al-Banna, maka saya sampaikan tulisan ini yang merupakan bagian dari Sikap Resmi Jama’ah Ikhwanul Muslimin terhadap masalah Politik.

Ikhwan dan Politik

Politik memiliki banyak definisi. Di antaranya adalah: seni memerintah dan menjalankan negara; kekuatan dan kemampuan untuk mencapai sesuatu yang dikehendaki; seni kompromi dan konsesi.

Ibnu al-Qayyim di dalam kitab as-Siyasah al-Hakimah berkata, “Siyasah (politik) adalah sesuatu yang membuat manusia lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, meskipun tidak diletakkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak diturunkan oleh wahyu. Jadi, cara apapun yang dapat merealisasikan keadilan, maka ia adalah bagian dari agama.”

Dalam proyek kebangkitan umat al-Ikhwan al-Muslimun yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Imam Hasan al-Banna, beliau rahimahullah telah meletakkan sejumlah titik tolak (acuan) pokok yang mengatur fitrah dan gerak politik jama‘ah. Di dalam visi ini kami menegaskan kembali sebagai berikut:

Hakikat keberadaan seorang muslim sebagai politisi adalah berangkat dari keislamannya. Beliau mengatakan, “Seorang muslim tidak akan sempurna keislamannya kecuali jika dia menjadi seorang politisi, jauh pandangannya dalam urusan-urusan umatnya, penuh perhatian dan antusias terhadapnya. Begitu juga, saya bisa mengatakan bahwa sikap membatasai dan mengasingkan diri dari politik merupakan sikap yang tidak diakui oleh Islam; dan bahwa setiap organisasi Islam wajib meletakkan perhatiannya terhadap urusan-urusan politik umatnya pada urutan pertama dalam program kerjanya. Bila tidak, maka organisasi itu sendiri yang perlu memahami arti Islam.” (RISALATUL MU’TAMAR AL-KHAMIS)

“Kami adalah politisi dalam arti memperhatikan perkara-perkara umat. Kami meyakini bahwa kekuatan eksekutif merupakan bagian dari ajaran-ajaran yang tercakup di dalam bingkai Islam, dan termuat di dalam hukum-hukumnya; dan bahwa kebebasan politik dan patriotisme merupakan salah satu pilar dan kewajiban Islam. Kami berusaha keras menyempurnakan kebebasan untuk memperbaiki lembaga eksekutif.” (RISALATUL MU’TAMAR AS-SADIS)

Syumuliah ajaran Islam mengharuskan amal politik. Untuk menegaskan hakikat ini, Ustadz al-Banna menyatakan bahwa komprehensitas Islam sebagai agama dan sistem kehidupan yang sempurna itu sudah barang tentu mencakup aspek politik. Beliau mengatakan, “Di antara implikasi pemahaman al-Ikhwan al-Muslimun yang komprehensif tentang Islam adalah bahwa pemikiran mereka mencakup setiap aspek reformasi di tengah umat; di dalamnya tercermin setiap unsur pemikiran reformatif lainnya; dan setiap reformer yang peka menemukan harapan di dalamnya; di dalamnya bertemu harapan-harapan seluruh pencinta reformasi yang mengetahui dan memahami tujuan-tujuannya. Tidak ada salahnya jika Anda mengatakan bahwa al-Ikhwan al-Muslimun adalah lembaga politik, karena mereka menuntut reformasi pemerintahan dari dalam, mengubah pandangan tentang hubungan umat Islam dengan bangsa-bangsa lain di luar, dan membina bangsa agar memiliki harga diri, kehormatan, dan antusiasme terhadap kebangsaannya semaksimal mungkin.” (RISALATUL MU’TAMAR AL-KHAMIS)

Negara Islam mencerminkan fikrah (ideologi). Hasan al-Banna menyatakan bahwa implementasi Islam sebagai ideologi yang sempurna dapat terwujudkan melalui negara Islam. Beliau mengatakan, “Negara dianggap sebagai representasi gagasan, penjaganya, dan bertanggungjawab atas realisasi tujuan-tujuannya di tengah masyarakat tertentu, serta menyampaikannya kepada semua manusia..” “…Negara Islam yang merdeka melaksanakan hukum-hukum Islam, menerapkan sistem sosialnya, mendeklarasikan berabgai prinsipnya yang lurus, dan menyampaikan dakwahnya yang bijaksana kepada manusia.” (RISALAH BAYNAL-AMSI WAL-YAUM)

Tanggungjawab dan peran umat dalam menuntut hak-hak keislamannya kepada pemerintahnya. Ustadz Hasan al-Banna menyerukan umat Islam untuk menuntut hak-hak keislamannya, termasuk hak politik. Ia mengatakan, “Ada satu kata yang harus kita ucapan dalam konteks ini, yaitu bahwa al-Ikhwan al-Muslimun tidak melihat adanya satu pemerintahan di masanya yang memikul beban ini, atau yang menunjukkan kesiapan yang benar untuk membela fikrah Islam. Hendaknya umat mengetahui hal itu, menuntut hak-hak keislamannya kepada pemerintahnya, dan hendaknya al-Ikhwan al-Muslimun bekerja untuk tujuan itu.” (RISALATUL MU’TAMAR AL-KHAMIS)

Menegaskan hakikat bahwa Islam tidak memisahkan antara agama dan politik. Inilah yang dianggap Imam al-Banna sebagai salah satu tsawabit Islamiyah (perkara-perkara yang tetap di dalam ajaran Islam). Beliau rahimahullah berkata, “Sedikit sekali Anda menemukan seseorang yang berbicara tentang politik dan Islam, kecuali ia memisahkan antara keduanya. Ia meletakkan makna masing-masing secara berhadapan, sehingga keduanya tidak pernah bertemu. Dari sini, suatu organisasi disebut organisasi Islam, bukan politik, atau organisasi agama yang tidak ada politik di dalamnya. Anda juga bisa menemukan di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya tertulis, “Tidak menyentuh urusan-rusan politik.”

“Saudara-saudaraku, demi Allah, beritahu aku! Kalau Islam bukan politik, bukan sosial, bukan ekonomi, bukan kebudayaan, lalu apa itu Islam? Apakah Islam adalah raka‘at-raka‘at dengan hati yang kosong, ataukah ucapan-ucapan seperti yang dikatakan Rabi‘ah al-‘Adawiyah, ‘Istighfar yang membutuhkan istighfar yang lain?’ Apakah untuk ini al-Qur’an diturunkan? Sesungguhnya al-Qur’an merupakan sebuah sistem yang sempurna, jelas, dan terperinci. “Dan Kami turunkan kepadamu Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl [16]: 89) (RISALAH MU’TAMAR THALABAH AL-IKHWAN AL-MUSLIMIN)

Politik dan pemerintahan dalam pemahaman al-Ikhwan al-Muslimun merupakan salah satu prinsip syari‘at yang tidak terpisah dari prinsip-prinsip yang lain. Beliau merinci hakikat ini demikian, “Islam yang hanif menganggap pemerintahan sebagai salah satu fondasi sistem sosial yang dibawa Islam kepada manusia, karena Islam tidak mengakui kondisi chaos, dan tidak membiarkan umat tanpa pemimpin. Allah Ta‘ala berfirman, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (al-Ma’idah [5]: 49) Barangsiapa mengira bahwa agama—atau lebih tepatnya Islam—tidak menyinggung politik, atau bahwa politik bukan termasuk kajian Islam, maka ia telah menzhalimi diri sendiri, dan menzhalimi pengetahuannya tentang Islam. Saya tidak menyebut menzhalimi Islam karena Islam adalah agama Allah yang tidak tersusupi kebatilan, baik dari depan atau dari belakang. Maka, negara Islam tidak tegak kecuali di atas fondasi dakwah, agar ia menjadi negara risalah (pengemban misi), bukan sebatas pembentukan manajemen, dan bukan pula negara materi yang beku tanpa ada ruh di dalamnya. Sebagaimana dakwah tidak bisa eksis kecuali berada dalam suatu perlindungan yang menjaganya, menyebarkannya, menyampaikannya, dan menguatkannya.” (RISALAH MUSYKILATINA AD-DAKHILIYYAH FI DHAU’IN NIZHAM AL-ISLAM: NIZHAMUL-HUKMI)

Diam saja terhadap pemerintah menurut pemahaman reformasi al-Ikhwan al-Muslimun adalah sebuah kejahatan. Bagi kami, menuntut pemerintah merupakan kewajiban Islam. Karena itu, Ustadz Hasan al-Banna mengingatkan agar kita tidak diam saja saat syari‘at Allah tidak diterapkan, serta menganjurkan para reformis Islam untuk menuntut tujuan ini. Beliau mengatakan, “Islam yang diyakini al-Ikhwan al-Muslimun ini menjadikan pemerintah sebagai salah satu rukunnya. Islam bersandar pada implementasi, sebagaimana ia bersandar pada pengarahan. Khalifah ketiga ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Sesungguhnya Allah benar-benar mencabut dengan kekuasaan apa yang tidak dicabut-Nya dengan al-Qur’an.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan pemerintahan sebagai salah satu tali Islam. Dan pemerintah menurut kitab-kitab fikih kita terbilang akidah dan ushul, bukan termasuk perkara fikih dan cabang. Jadi, Islam adalah pemerintahan dan pelaksanaan.”

“Terkadang bisa dipahami bahwa para reformer Islam puas dengan rutinitas ceramah bila mereka mendapati sebagian eksekutif patuh kepada perintah-perintah Allah, melaksanakan hukum-hukumnya, dan menyampaikan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan dalam kondisi seperti yang kita lihat ini, dimana hukum Islam berada di satu lembah, sedangkan perundang-undangan dan pelaksanaan berada di lembah lain, maka sikap berpangku tangan para reformer Islam untuk menuntut pemerintah adalah sebuah kejahatan terhadap Islam. Sikap ini tidak bisa ditebus kecuali dengan bangkit dan merebut kekuasaan eksekutif dari tangan orang-orang yang tidak komit dengan Islam yang hanif.” (RISALATUL MU’TAMAR AL-KHAMIS)

Moderat dan rasional dalam metode interaksi dengan masalah pemerintahan. Akhirnya, Hasan al-Banna menegaskan bahwa tujuan al-Ikhwan al-Muslimun bukanlah pemerintahan, melainkan menerapkan syari‘at Allah. Mengenai hal ini beliau berkata, “Atas dasar itu, al-Ikhwan al-Muslimun tidak mencari kekuasaan untuk diri mereka sendiri. Bila al-Ikhwan al-Muslimun mendapati di antara umat ada yang siap memikul beban ini, melaksanakan amanah, dan menjalankan pemerintahan dengan manhaj yang Islami dan Qur’ani, maka al-Ikhwan al-Muslimun menjadi prajurit dan pembelanya. Tetapi bila mereka tidak mendapati orang seperti ini, maka kekuasaan menjadi bagian dari manhaj mereka. Mereka akan bekerja untuk merebutnya dari tangan setiap penguasa yang tidak melaksanakan perintah Allah. Karena itu, al-Ikhwan al-Muslimun berfikir lebih rasional dan tegas ketimbang sekedar maju mengambil tugas pemerintahan sedangkan kondisi jiwa umat masih seperti ini. Jadi, harus ada satu masa dimana prinsip-prinsip al-Ikhwan al-Muslimun tersebar dan mewarnai masyarakat, dan rakyat belajar bagaimana mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.” (RISALATUL MU’TAMAR AL-KHAMIS)

(BERSAMBUNG)



Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright Media Rismaya 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.